Anak Hasil di Luar Nikah? Bagaimana Status Nasab dan Hak Warisnya?. Sering kali ditemui disekitar kita atau sekedar mendengar berita di berbagai berita ditelevisi dan lainnya, tentang seorang wanita yang hamil di luar nikah. Hal ini bisa disebabkan dari banyak hal, salah satunya karena kurangnya kontrol orang tua, kurangnya pendidikan agama, dan lain sebagainya.
(si pria) Ada yang langsung bertanggung jawab dengan cara menikahi wanitanya, ada juga yang tidak sama sekali malah kabur entah kemana. Hal ini tentu akan memberikan dampak buruk terhadap wanita dan anak yang sedang dikandungnya, baik secara hukum syariat islam atau hukum negara.
Yang menjadi masalah dan perlu dipertanyakan adalah bagaimana status nasab dan hak waris si anak nanti saat dia lahir? Yuk kita intip penjelasan dari pada ulama / tokoh Jam'iyah Nahdlatul Ulama berikut ini.
Jawaban
Setiap anak yang lahir memiliki hak untuk dilindungi secara hukum dengan status yang jelas, anak ini dapat meraih hak-hak lainnya sebagai warga negara yang sama di depan hukum.
Adapun perihal status perwalian, nasab, nafkah, dan hak waris anak di luar nikah, para ulama berbeda pendapat. Masalah ini juga diangkat dalam forum Munas Alim Ulama NU di Lombok pada akhir tahun 2017.
Peserta Munas Alim Ulama NU di Lombok 2017 mengartikan anak di luar nikah sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama.
Peserta Munas Alim Ulama NU mengikuti tafshil dalam rumusan hukum fikih mengenai masalah ini. Pertama, jika perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, waris, dan nafkah.
Kedua, jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada tafsil (rinci):
- Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja;
- jika anak tersebut lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya. Tetapi (b) jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.
Mereka mengutip salah satunya keterangan Al-Mawardi yang mengangkat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih sebagai berikut:
فَأَمَّا إِنْ كَانَتِ الزَّانِيَةُ خَلِيَّةً وَلَيْسَتْ فِرَاشًا لِأَحَدٍ يَلْحَقُهَا وَلَدُهَا، فَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ أَنَّ الْوَلَدَ لَا يَلْحَقُ بِالزَّانِي وَإِنِ ادَّعَاهُ، وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ قِيَامِ الْبَيِّنَةِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ سِيرِينَ وَإِسْحَاقُ بْنُ رَاهَوَيْهِ، وَقَالَ إِبْرَاهِيمُ النَّخَعِيُّ: يَلْحَقُهُ الْوَلَدُ إِذَا ادَّعَاهُ بَعْدَ الْحَدِّ وَيَلْحَقُهُ إِذَا مَلَكَ الْمَوْطُوءَةَ وَإِنْ لَمْ يَدِّعِهِ، وَقَالَ أَبُو حَنِيفَةَ: إِنْ تَزَوَّجَهَا قَبْلَ وَضْعِهَا وَلَوْ بِيَوْمٍ لَحِقَ بِهِ الْوَلَدُ، وَإِنْ لَمْ يَتَزَوَّجْهَا لَمْ يَلْحَقْ بِهِ
Artinya, "Jika perempuan itu kosong, yakni tidak menikah sampai persalinan, maka anak itu dinisbahkan kepadanya. Menurut Madzhab Syafi’i, anak itu tidak dinisbahkan kepada lelaki yang berzlna meskipun ia mengakuinya. Menurut Al-Hasan Al-Bashari, hal itu dimungkinkan jika lelaki tersebut mengakuinya disertai bukti. Pendapat ini dipakai oleh Ibnu Sirin dan Ibnu Rahawaih. Ibrahim An-Nakha’i mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia mengakuinya setelah sanksi had dan anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki bila ia memiliki budak perempuan meskipun ia tak mengakui bayi itu sebagai anaknya. Imam Hanafi mengatakan, anak itu dinisbahkan kepada seorang lelaki yang menikahi ibunya meskipun sehari sebelum persalinan. Tetapi jika lelaki itu tidak menikahi ibunya, maka anak itu tidak bisa dinisbahkan kepadanya".
(Lihat Abul Hasan Al-Mawardi, Al-Hawi Al-Kabir, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 1994 M/1414 H], cetakan pertama, juz VIII, halaman 162).
Lalu bagaimana pandangan NU terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait masalah ini?
Sebagaimana diketahui bahwa MK memutuskan, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.”
Peserta Munas NU 2017 memandang bahwa putusan MK tidak sepenuhnya bertentangan dengan rumusan hukum fikih.
Demikian semoga bisa menambah wawasan anda. Amin...
Referensi: www.nu.or.id