Wajibkah Mengganti Shalat Setelah Dibius Total Dalam Pandangan Fiqih. Datangnya penyakit adalah sesuatu yang tidak diharapkan. Namun ada orang-orang yang mendapat musibah penyakit berat. Bahkan beberapa penyakit ini kadang mengharuskan pengidapnya untuk menjalani operasi.
Operasi pembedahan berdasarkan skala tindakannya dibagi menjadi dua, yaitu operasi bedah kecil (minor) dan besar (mayor). Pada pembedahan minor, seperti pada khitan, menjahit sayatan luka, atau pengambilan kutil, pembiusan dilakukan adalah dengan pembiusan (anestesi) lokal. Pasien tetap dibiarkan sadar, namun hanya pada bagian kecil tertentu dari tubuh yang dihilangkan rasa sakitnya.
Kemudian pada operasi besar, seperti pada operasi kelahiran caesar, amputasi, kerap diperlukan pembiusan sebagian anggota tubuh yang melumpuhkan anggota badan tertentu. Bahkan pada operasi terkait organ tubuh bagian dalam dan skala yang besar, kerap digunakan pembiusan total yang menghilangkan kesadaran pasien.
Metode pembiusan total ini beragam, ada yang melalui pernapasan atau melalui pembuluh darah. Setiap metode dan jenis obat bius yang digunakan memiliki indikasi dan cara kerjanya masing-masing dalam tubuh. Sebelum tindakan operasi besar, baik total atau sebagian anggota tubuh, kerap diberikan obat-obat premedikasi yang memberikan rasa nyaman serta menyiapkan kondisi fisik pasien untuk operasi.
Obat bius yang menghilangkan kesadaran ini digolongkan sebagai obat hipnotik. Setelah dibius secara total, sesuai masa cara kerja obat maka dalam waktu tertentu pasien yang usai dioperasi diharapkan kembali tersadar, meskipun tetap harus dalam pengawasan agar pulih kembali.
Dalam sekian jenis tindakan bedah besar ini, kerap memakan waktu berjam-jam, yang melampaui waktu-waktu shalat wajib. Bagaimana status shalat pasien yang ditinggalkan tersebut?
Para ulama kerap menggolongkan masalah ini terkait syarat wajib shalat, yaitu status berakal bagi mukallaf (orang yang memiliki kewajiban suatu ibadah). Imam An-Nawawi dalam karyanya Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab mengomentari perihal obat bius yang menghilangkan akal ini.
يَجُوزُ شُرْبُ الدَّوَاءِ الْمُزِيلِ لِلْعَقْلِ لِلْحَاجَةِ كَمَا أَشَارَ إلَيْهِ الْمُصَنِّفُ بِقَوْلِهِ شُرْبِ دَوَاءٍ مِنْ غَيْرِ حَاجَةٍ وَإِذَا زَالَ عَقْلُهُ وَالْحَالَةُ هَذِهِ لَمْ يَلْزَمْهُ قَضَاءُ الصَّلَوَاتِ بَعْدَ الْإِفَاقَةِ لِأَنَّهُ زَالَ بِسَبَبٍ غَيْرِ مُحَرَّمٍ
Artinya, “Diperbolehkan meminum (mempergunakan) obat yang menghilangkan akal untuk kebutuhan tertentu. Jika akal hilang sebab obat tersebut, maka ia tidak harus mengganti shalatnya setelah siuman, karena akal yang hilang itu bukan karena sesuatu atau tindakan yang diharamkan.”
Dari keterangan di atas, maka penggunaan obat bius hipnotik dapat dibenarkan atas indikasi tertentu, serta sang pasien tidak berkewajiban mengganti shalatnya setelah siuman. Tindakan anestesi tersebut tentu harus berada dalam pengawasan dokter dan tenaga kesehatan lain.
Obat-obat bius adalah jenis-jenis obat yang perlu digunakan dengan petunjuk tenaga kesehatan profesional, serta tidak bisa digunakan sembarang orang, alih-alih dijual bebas. Karena itulah penggunaan obat anestesi ini diperbolehkan dalam dosis tertentu dan indikasi yang ketat. Dengan demikian, seorang yang terlewat shalatnya akibat pembiusan total tidak wajib mengganti shalatnya. Wallahu a'lam.
Referensi: http://www.nu.or.id
Gambar: https://petunjuksehat.com
Gambar: https://petunjuksehat.com