Si A setiap mau tanam padi tak punya modal, akhirnya si B memberikan pinjaman modal pada si A sebesar Rp. 1.500.000, dengan kesepakatan nanti bayarnya dengan gabah sebanyak 1 ton setelah panen (100 kg gabah di hargai Rp. 150.000,). Padahal harga normal gabah 100 kg sebesar Rp. 250.000, Berarti si B mendapat keuntungan sebesar Rp. 1.000.000,
Pertanyaan;
- Masuk pada akad apakah kasus di atas?
- Akad apakah yang harus digunakan supaya si B tidak termasuk pelaku riba?
- Jika memang haram hukumnya, adakah hukum yang memperbolehkannya?
Jawaban;
- Termasuk akad Qordhu (hutang piutang) yang fasid (rusak/tidak sah)
- Bisa memakai jawaban yang ketiga (solusi)
- Solusinya :
Akad pinjaman adalah pemberian kepemilikan sesuatu untuk kemudian dikembalikan lagi dengan jenis yang sama. [I’aanah Atthoolibiin III/48]
a. Jangan disyaratkan (disebutkan) di dalam aqad.
وَالْحَاصِلُ أَنَّ كُلَّ شَرْطٍ مَنَافٍ لِمُقْتَضَى الْعَقْدِ إنَّمَا يُبْطِلُ إنْ وَقَعَ فِي صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ بَعْدَهُ وَقَبْلَ لُزُومِهِ لَا إنْ تَقَدَّمَ عَلَيْهِ وَلَوْ فِي مَجْلِسِهِ كَمَا يَأْتِي
Kesimpulannya adalah, setiap syarat yang meniadakan subtansi (tuntutan) dari sebuah akad hanya bisa batal apabila terjadi di dalam akad, atau sesudah akad tetapi belum terealisir secara pasti, bukan ketika sebelum akad meskipun terdapat di tempat akad tersebut.
التحفة – (ج 17 / ص 61) (أحكام الفقهاء ص 245)
ومنه القرض لمن يستأجر ملكه أى مثلا بأكثر قيمته لأجل القرض إن وقع ذلك شرطا إذ هو حينئذ حرام إجماعا وإلا كره عندنا وحرام عند كثير من العلماء قاله السبكى.
ومنه القرض لمن يستأجر ملكه أى مثلا بأكثر قيمته لأجل القرض إن وقع ذلك شرطا إذ هو حينئذ حرام إجماعا وإلا كره عندنا وحرام عند كثير من العلماء قاله السبكى.
Di antara riba qardl adalah, hutang piutang bagi sesorang yang akan menyewakan (semisal tanah) miliknya dengan harga yang lebih tinggi, dengan catatan apabila transaksi tersebut disebutkan dalam akad, sebab apabila hal tersebut terjadi dalam akad, maka hukumnya adalah haram, sesuai onsensus (ijma’) para ulama. Tetapi apabila tidak disebutkan dalam akad, maka menurut Madzhab Syafi’iyyah adalah makruh, dan haram menurut ulama yang lain. Pendapat ini disampaikan oleh Imam Subki”. [I’aanah Atthoolibiin III/53]
b. Kelebihan dari harta pinjaman dijadikan hibah/hadiah oleh orang yang meminjam
وجاز لمقرض نفع يصل له من مقترض كرد الزائد قدرا أو صفة والأجود فى الردىء بلا شرط فى العقد بل يسن ذلك لمقترض لقوله إن خياركم أحسنكم قضاء ولا يكره للمقرض أخذه كقبول هديته ولو فى الربوى والأوجه أن المقرض يملك الزائد لفظ لأنه وقع تبعا وأيضا فهو يشبه الهدية وأن المقترض إذا دفع أكثر مما عليه وادعى أنه إنما دفع ذلك ظنا أنه الذى عليه حلف ورجع فيه. وأما القرض بشرط جر نفع لمقرض ففاسد لخبر كل قرض جر منفعة فهو ربا وجبر ضعفه مجىء معناه عن جمع من الصحابة.
Dan diperbolehkan bagi pihak yang memberi hutang (muqridl) untuk mendapatkan sesuatu yang lebih (manfaat) dari pihak yang berhutang (muqtaridl) seperti membayar hutang dengan nilai yang lebih baik secara kwantitas atau kwalitasnya, (seperti) berhutang sesuatu yang jelek dibayar dengan yang lebih bagus, dengan tanpa syarat (penyebutan) pada saat akad pinjaman. Bahkan berbuat seperti itu disunnahkan bagi pihak yang berhutang, karena sabda Rasulullah SAW artinya “Sesungguhnya orang yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bagus cara membayarnya”. Dan tidak dimakruhkan bagi pihak yang memberi hutang untuk mengambilnya sebagaimana menerima hadiah dari pihak yang berhutang, meskipun dalam transaksi ribawi.
Menurut pendapat yang lebih kuat, tambahan dari hutang tersebut menjadi hak milik bagi pihak yang memberi hutang tanpa adanya penjelasan, sebab hal tersebut diikutsertakan dalam pengembalian hutang, juga sama seperti hadiah (masih menurut pendapat yang kuat), bahwa apabila pihak yang berhutang membayar hutang lebih banyak dari hutang yang berada dalam tanggungannya, dan dia mngaku bahwa, ia melakukannya karena (ia semula) mengira jumlah hutangnya sebanyak itu, maka ia disumpah dan dikonfirmasikan.
Adapun transaksi hutang piutang yang disyaratkan dengan pengambilan keuntungan bagi pihak yang memberi hutang, maka akad tersebut batal. Kalau berdasarkan hadits yang artinya “Setiap hutang piutang yang mengambil keuntungan adalah riba”. (hadits ini pada dasarnya adalah dla’if tetapi kedla’ifan hadits ini ditopang oleh hadits lainnya yang sama yang diriwayatkan dari sekelompok para sahabat sehingga hadits ini ons dijadikan hujjah karena telah naik ke tingkat hadits hasan)”.
[I’aanah Atthoolibiin III/53]
c. Kelebihan dari harta pinjaman dijadikan nadzar oleh orang yang meminjam
مسألة: اعطاء الربوي عند الاقتراض ولو للضرورة بحيث انه لو لم يعط لم يقرضه لا يدفع الاثم اذ له طريق الى حل اعطاء الزائد بطريق النذر او غيره من الاسباب المملكة لا سيما اذا قلنا بالمعتمد ان النذر لا يحتاج الى القبول لفظ
غاية تلخيص المراد ص129
غاية تلخيص المراد ص129
Namun demikian menurut imam AlGhozali hutang piutang yang demikian dihukumi haram secara mutlak
(قوله: وقول الغزالي) مبتدأ خبره شاذ.(وقوله: يحرم إلخ) مقول القول.قال في التحفة بعده: على أنه – أي الغزالي في بسيطه – جرى على المذهب، فجعل الورع اجتناب معاملة من أكثر ماله ربا.قال: وإنما لم يحرم – وإن غلب على الظن أنه ربا – لان الاصل المعتمد في الاملاك اليد، ولم يثبت لنا فيه أصل آخر يعارضه، فاستصحب ولم يبال بغلبة الظن.اه
I’aanah Atthoolibiin II/241Jikadi masukkan pada akad salam, maka juga termasuk akad salam yang fasid karena temponya di anggap tempo yang tidak menentu yang tidak diperkenankan (pengembalian pasca panen di anggap tidak bisa dijadikan pegangan karena si dul dalam usaha menanam bisa saja tidak mendapatkan hasil panenannya)
وَيُشْتَرَطُ أَنْ يَكُونَ الْأَجَلُ مَعْلُومًا
Asna Almathoolib II/125
واتفق أئمة المذاهب على أن السلم يصح بستة شروط: وهي أن يكون في جنس معلوم، بصفة معلومة، ومقدار معلوم، وأجل معلوم
AlFiqh al-Islam wa adillatuh V/269Jadi solusinya mari mengajak para sahabat-sahabat kita untuk memantapkan kembali hati dan keyakinan akan penerapan akad Syariah, walaupun ada tantangan motivasi bahwa akan datang suatu jaman dimana ummat Islam seakan pegang api yang membara jika menerapkan syariah. Wallahu A'lam bis showab...