Sebagaimana kita tahu bahwa sistem layanan data simpatika yang digunakan oleh kemenag menjadi acuan kelayakan lembaga pendidikan dibawah naungan kementerian agama. Sehingga mengharuskan setiap madrasah untuk melakukan verifikasi dan validasi (verval) data madrasah, siswa, dan guru.
Selain itu, simpatika akan efektif 100 persen di tahun pelajaran yang akan datang (2016/2017). Sehingga simpatika juga menjadi acuan berbagai tunjangan, baik itu tunjangan sertifikasi atau tunjangan fungsional.
Untuk bisa menerima tunjangan, maka guru harus memenuhi berbagai macam persyaratan yang telah ditentukan. Seperti memenuhi alokasi 24 JTM (jam tatap muka) per minggu, linear mapel dengan NRG atau piagam sertifikasi. Yang paling memusingkan adalah harus memenuhi rasio 1 banding 15 (1 guru : 15 siswa).
Mungkin bagi madrasah yang yang sudah maju dengan jumlah siswa mencapai ratusan, tidak ada masalah. Namun bagi madrasah yang ada di pelosok desa yang jumlah siswanya hanya pada angka puluhan, akan menjadi masalah besar bahkan terancam tutup.
Kok bisa?
Logikanya begini. Jika ada madrasah yang siswanya tidak mencapai 15 per kelas, maka guru sertifikasi tersebut akan pindah ke madrasah lain yang memenuhi syarat 1:15. Jika setiap guru sertifikasi pindah ke madrasah lain, lalu siapa yang akan mengajar di madrasah tersebut dan siswa yang akan menjadi korban.
Anda bisa bayangkan, jika dalam satu kecamatan ada 1 madrasah ibtidaiyah dengan 60 siswa (rata-rata 10 siswa perkelas) ditutup karena aturan tersebut, lalu dalam 1 kabupaten? 1 provinsi? se Indonesia? dan berapa siswa yang akan menjadi korban pendidikan.
Ada yang bilang "itu urusan madrasah, bukan kami...! yang mendirikan madrasah itu siapa? anda apa kami?" Bahasa seperti itu sangat menggelikan telinga saya karena keluar dari petinggi pendidikan.
Dengan berdirinya madrasah di pelosok-pelosok, itu sangat membantu pemerintah untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia. Maka seharusnya pemerintah berpihak ke madrasah-madrasah kecil di pelosok negeri, bukan malah men-diskriminasi. Supaya anak didik kita tidak menjadi korban ke-GALAU-an.
Pemerintah melakukan berbagai program supaya anak bangsa kita bisa mengenyam pendidikan yang layak dengan 20% anggaran pendidikan.
Anggaran pendidikan dalam APBN 2016 mencapai Rp 419,2 triliun atau 20 persen dari total belanja negara Rp 2095,7 triliun. Hal tersebut pun sudah sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan.
Karena itu, harapan saya semoga kementerian agama tidak memberlakukan hal itu. Mengingat akan berdampak tidak baik untuk madrasah, guru dan siswa.
Demikian celoteh Nom Ifrod terkait aturan 1 banding 15. Bukan untuk melecehkan siapapun, tapi sebagai harapan untuk memberikan pelayanan pendidikan yang maksimal terhadap guru dan siswa supaya kegiatan belajar mengajar di madrasah lancar, aman dan terkendali.