Fenomena pernikahan di bawah tangan atau nikah sirri bagi umat Islam di Indonesia masih terbilang banyak. Bukan saja dilakukan oleh kalangan masyarakat bawah, tapi juga oleh lapisan masyarakat menengah keatas. Kondisi demikian terjadi karena beberapa factor yang melatarbelakanginya.
Tentu saja untuk mengetahui berapa besar persentase pelaku nikah sirri dan faktor apa saja yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan sirri tersebut masih memerlukan penelitian yang seksama. Akan tetapi secara umum nikah sirri dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Kurangnya Kesadaran Hukum Masyarakat
Masih banyak di antara masyarakat kita yang belum memahami sepenuhnya betapa pentingnya pencatatan perkawinan. Kalaupun dalam kenyataannya perkawinan itu dicatatkan di KUA sebagian dari mereka boleh jadi hanya sekedar ikut-ikutan belaka; menganggapnya sebagai tradisi yang lazim dilakukan oleh masyarakat setempat; atau pencatatan perkawinan itu hanya dipandang sekedar soal administrasi; belum dibarengi dengan kesadaran sepenuhnya akan segi-segi manfaat dari pencatatan perkawinan tersebut.
Permasalahannya ialah, mengapa begitu rendah kesadaran hukum sebagian masyarakat kita, dan bagaimana upaya kita untuk meningkatkan kesadaran hukum bagi mereka, semua itu tentu merupakan tanggung jawab kita bersama. Kalau suatu kelompok masyarakat dalam suatu wilayah hukum di Indonesia belum mempunyai kesadaran hukum yang tinggi, hal ini tentu bukan semata-mata kesalahan masyarakat itu sendiri melainkan juga disebabkan kurang maksimalnya peran dan upaya lembaga pemerintahan yang ada, dalam hal ini Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah setempat kurang intensif memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang betapa pentingnya mencatatkan perkawinan mereka.
Di wilayah Pelosok terutama daerah pedalaman dan terpencil, rendahnya kesadaran hukum masyarakat akan pentingnya mencatatkan perkawinan dapat kita lihat di beberapa desa yang mayoritas penduduknya muslim, ternyata ada banyak masyarakat yang perkawinannya tidak dicatat oleh KUA setempat. Hal ini dapat diketahui dengan jelas, dengan banyaknya masyarakat yang mengajukan permohonan itsbat nikah ke Pengadilan Agama setempat untuk mendapatkan pengesahan perkawinan mereka secara hukum Negara.
Banyaknya perkara permohonan isbat nikah tersebut tidak terlepas dari usaha pimpinan Pengadilan Agama setempat yang telah berupaya mengadakan penyuluhan hukum terutama di daerah kecamatan tertentu yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Melihat antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pengesahan nikah mereka di Pengadilan Agama setelah memperoleh pemahaman hukum tersebut, menunjukkan bahwa kesadaran hukum masyarakat justeru mulai bangkit.
Diharapkan dimulai dari meningkatnya kesadaran tersebut merupakan awal yang baik bagi terciptanya kesadaran masyarakat secara keseluruhan di kawasan daerah tersebut. Karena dengan kesadaran ini setidaknya kalau mereka menikahkan anak-anaknya nanti tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama yang pernah mereka lakukan.
Dengan demikian, rendahnya tingkat kesadaran hukum masyarakat seperti itu perlu ditingkatkan melalui kegiatan penyuluhan hukum baik secara formal yang dilakukan oleh lembaga instansi terkait maupun secara informal melalui para penceramah di forum pengajian majelis ta’lim dan lain sebagainya.
2. Sikap Apatis Sebagian Masyarakat Terhadap Hukum
Sebagian masyarakat ada yang bersikap masa bodoh terhadap ketentuan peraturan yang menyangkut perkawinan. Kasus pernikahan Syekh Puji dengan perempuan di bawah umur bernama Ulfah sebagaimana terkuak di media massa merupakan contoh nyata sikap apatis terhadap keberlakuan hukum Negara. Dari pemberitaan yang ada, dapat kita pahami terdapat dua hal yang diabaikan oleh Syekh Puji yaitu, pertama, pernikahan tersebut merupakan poligami yang tidak melalui izin di pengadilan, dan kedua, beliau tidak mau mengajukan permohonan dispensasi kawin meskipun sudah jelas calon isteri tersebut masih di bawah umur.
Sikap apatisme semacam itu, terutama yang dilakukan oleh seorang public figure, sungguh merupakan hambatan besar bagi terlaksananya keberlakuan hukum. Karena apa yang dilakukan oleh seorang tokoh biasanya akan dicontoh oleh mereka yang mengidolakannya. Oleh karena itu penanganan secara hukum atas kasus yang menimpa Syekh Puji adalah tepat agar tidak menjadi preseden yang buruk bagi bangsa Indonesia yang saat ini sedang berusaha memposisikan supremasi hukum.
3. Ketentuan Pencatatan Perkawinan Yang Tidak Tegas
Sebagaimana kita ketahui, ketentuan pasal 2 UU No.1 / 1974 merupakan azas pokok dari sahnya perkawinan. Ketentuan ayat (1) dan (2) dalam pasal tersebut harus dipahami sebagai syarat kumulatif, bukan syarat alternative sahnya suatu perkawinan. Dari fakta hukum dan/atau norma hukum tersebut sebenarnya sudah cukup menjadi dasar bagi umat Islam terhadap wajibnya mencatatkan perkawinan mereka. Akan tetapi ketentuan tersebut mengandung kelemahan karena pasal tersebut multi tafsir dan juga tidak disertai sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dengan kata lain ketentuan pencatatan perkawinan dalam undang-undang tersebut bersifat tidak tegas.
Itulah sebabnya beberapa tahun terakhir pemerintah telah membuat RUU Hukum Terapan Pengadilan Agama Bidang Perkawinan yang sampai saat ini belum disahkan di parlemen. Dalam RUU tersebut kewajiban pencatatan perkawinan dirumuskan secara tegas dan disertai sanksi yang jelas bagi yang melanggarnya.
Pasal 4 RUU menegaskan: setiap perkawinan wajib di catat oleh PPN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kemudian pasal 5 ayat (1) menyatakan: untuk memenuhi ketentuan pasal 4, setiap perkawinan wajib dilangsungkan di hadapan PPN. Kewajiban pencatatan sebagaimana ketentuan pasal 4 dan pasal 5 ayat (1) tersebut disertai ancaman pidana bagi yang melanggarnya.
Ketentuan pidana yang menyangkut pelanggaran pencatatan perkawinan tersebut dinyatakan dalam Pasal 141 RUU tersebut menyebutkan: setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan PPN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 (1) dipidana dengan pidana denda paling banyak 6.000.000,- (enam juta rupiah) atau hukumuan kurungan paling lama 6 (enam) bulan.
Pasal 145 RUU menyatakan: PPN yang melanggar kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dikenai hukuman kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah).
Pasal 146 RUU menyatakan: setiap orang yang melakukan kegiatan perkawinan dan bertindak seolah-olah sebagai PPN dan/atau wali hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 21 dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
Dengan demikian, ketidak-tegasan ketentuan pencatatan dalam undang-undang yang berlaku selama ini masih memberi ruang gerak yang cukup luas bagi pelaksanaan nikah sirri bagi sebagian masyarakat yang melakukannya dan menjadi salah satu factor penyebab terjadinya pernikahan sirri.
4. Ketatnya Izin Poligami
UU No.1/1974 menganut azas monogami, akan tetapi masih memberikan kelonggaran bagi mereka yang agamanya mengizinkan untuk melakukan poligami (salah satunya agama Islam) dengan persyaratan yang sangat ketat. Seseorang yang hendak melakukan poligami hanrus memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternative yang ditentukan secara limitative dalam undang-undang., yaitu:
- isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
- isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
- isteri tidak dapat melahirkan keturunan (ps.4 ayat (2) UU 1/1974)
Sebaliknya pengadilan akan mempertimbangkan dan akan memberi izin poligami bagi seseorang yang memohonnya apabila terpenuhi syarat kumulatif sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-siterinya;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-siteri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri dan anak-anak mereka;
Yang dimaksud mampu menjamin keperluan hidup bagi isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat relative sifatnya. Demikian pula suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya adalah sangat subjektif sifatnya, sehingga penilaian terhadap dua persyaratan tersebut terakhir akan bergantung pada rasa keadilan hakim sendiri.
Bila kita telaah sulitnya untuk dipenuhinya syarat-syarat tersebut di atas oleh seorang suami, maka hal tersebut dapat menimbulkan: perkawinan “clandestine” dan hidup bersama (samenleven). Perkawinan “clandestine” adalah perkawinan yang pelangsungannya secara sah memenuhi syarat, akan tetapi terdapat cacat yuridis di dalamnya. Misalnya seorang calon suami dalam pemberitahuan kehendak kawin mengaku jejaka atau menggunakan izin palsu.
Ketatnya izin poligami juga menyebabkan yang bersangkutan lebih memilih nikah di bawah tangan atau nikah sirri karena pelangsungan (tata cara) pernikahan di bawah tangan lebih sederhana dan lebih cepat mencapai tujuan yaitu kawin itu sendiri.
Khusus bagi pegawai negeri baik sipil maupun militer, untuk dapat poligami kecuali harus memenuhi syarat tersebut di atas juga harus memperoleh izin atasan yang berwenang, sesuai dengan PP No.10/1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi PNS jo. PP 45/1990.. Demikian pula bagi TNI harus memperoleh izin dari atasannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, sehingga bagi yang bersangkutan wajib menempuh proses panjang.
Sulit dan lamanya proses serta hambatan berupa birokrasi dalam pemberian izin memang bertujuan untuk memperkuat secara selektif akan perkenan poligami bagi PNS serta menghindari kesewenang-wenangan dalam hal kawin lebih dari satu, sehingga PNS diharapkan jadi contoh dan teladan yang baik sesuai dengan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarrakat. Akibat larangan berpoligami atau sulitnya memperoleh izin poligami justru membuka pintu pelacuran, pergundikan, hidup bersama dan poligami illegal.
Menurut Soetojo, dengan berlakunya UU 1/1974 angka kawin lebih dari satu (poligami: Pen) menunjukkan menurun drastis namun poligami illegal dengan segala bentuknya semakin banyak, yang disebabkan oleh:
- tidak adanya kesadaran hukum yang tinggi dari masyarakat;
- bagi mereka yang terikat oleh pengetatan tertentu karena kedinasannya dibayangi oleh rasa takut kepada atasan di samnping prosedurnya yang terlalu lama dan sulit;
- tidak adanya tindakan yang tegas terhadap poligami illegal;
Bentuk poligami illegal yang banyak dijumpai dalam masyarakat ialah:
- hidup bersama tanpa ikatan perkawinan yang sah dan sering dikenal dengan sebutan: hidup bersama, pergundikan, wanita simpanan;
- bagi mereka yang beragama Islam, melakukan poligami tanpa pencatatan nikah.
Hasil penelitian Soetojo tersebut terakhir menunjukkan bahwa ketatnya izin poligami merupakan salah satu faktor timbulnya pernikahan di bawah tangan, atau pernikahan yang tidak dicatat, alias nikah sirri.
Artikel Terkait