Haramnya Riba Dalam Muamalat Menurut Syariat Islam. Dalam masalah ekonomi tentu harus memiliki bekal ilmu ekonomi sesuai dengan apa yang ditentukan oleh syariat islam, yakni haram riba dan halal jual beli. Kenyatannya, sering kita temui praktik yang tidak sesuai dengan konsep hukum syariah, yakni menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan lebih tanpa memikirkan nasib rugi orang lain.
Oleh karenanya, untuk menghindarkan dari praktik yang jelas merugikan orang lain, butuh ilmu yang dapat direalisasikan dan diaplikasikan sehari-hari, khususnya ilmu dalam bidang perekonomian, bisnis dan muamalah yang notabene-nya tidak akan terlepas dari kehidupan manusia.
Allah SWT telah tegas mengharamkan sesuatu yang dihasilkan dari barang haram atau cara yang haram. Bahkan, orang yang beribadah pun yang memohon ampunan pada Allah, menangisi dan menyesali atas dosanya yang diperbuat selama hidupnya tidak akan diterima ibadahnya, bila dia masih mengkonsumsi sesuatu yang haram.
Ilmu yang wajib diketahui oleh pelaku ekonomi adalah praktik riba yang diharamkan agar penggiat ekonomi tidak terjerumus pada lembah kedzaliman: kedzaliman pada dirinya, masyarakat dan agamanya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila". Mengenai ayat diatas Imam Fakhruddin al-Rozi dalam tafsir Mafatihul Ghaib menjelaskan hikmah pengharaman riba sebagai berikut:
Riba bisa menyebabkan pengambilan harta orang lain tanpa adanya pengganti, karena seorang yang menjual satu dirham dengan dua dirham yang dilakukan secara tunai maupun kredit (mu’ajjal) dia akan menerima tambahan dirham tersebut tanpa adanya pengganti, padahal yang boleh adalah menukar/menjual satu dirham dengan satu dirham juga, tidak boleh ada kelebihan dalam transaksi tersebut.
Dalam pengharaman mengambil harta orang lain Rasul telah menyinggung dalam hadisnya yang berbunyi: "seorang dapat dikatakan buruk adalah ketika dia meremehkan saudara Muslim lainnya, setiap orang Islam atas orang Islam lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya". (HR Muslim Bab Tahrimu Dzulmil Muslim)
Riba -dalam perspektif ekonomi dan sosiologi- mendorong pelaku riba malas-malasaan untuk berusaha dan bekerja untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, karena pada kenyataannya bagi pelaku riba di saat mendapatkan uang riba, mereka bermalas-malasan mencari ma’isyah (kebutuhan hidup), tidak mau bercapek-capek kerja, berdagang, dan berproduksi. Ia hanya ingin duduk manis di halaman rumahnya menunggu datangnya uang riba. Hal sedemikian akan menyebabkan pelaku riba pada hilangnya mengambil kemanfaatan bersosialisasi di antara sesama.
Riba –dalam perspektif etika- menyebabkan bisa terputusnya beramal ma’ruf/ baik yang berupa memberi hutang pada sesama. Sebab seandainya riba diperbolehkan maka seseorang yang butuh akan memaksakan dirinya untuk mengambil riba yang pada ujungnya akan menyebabkan lenyapnya persaudaraan, amal ma’ruf, dan ihsan atau berbuat baik.
Riba –dalam perspektif kemanusian- mayoritas orang yang member pinjaman hutang mereka rata-rata adalah golongan orang-orang yang mampu (kaya), sementara penerima hutang mereka orang-orang yang faqir-miskin. Apabila riba diperbolehkan niscaya orang-orang yang kaya akan mengambil lebih dari piutang (harta) yang mereka pinjamkan pada orang-orang fakir-miskin.
Alla kulli hal, riba adalah sebuah instrumen yang dapat merusak tatanan kehidupan manusia dari segala aspek yang disebutkan diatas, yaitu rusaknya dalam bermuamalah, bersosialisasi, beretika dan berprikemanusiaan, bahkan sebagaimana yang disinggung oleh surat Al-Baqarah ayat 275 diatas para pelaku riba tatkala dibangkitkan dari alam kubur, tidak lah ia berdiri melainkan seperti seperti orang gila yang kerasukan setan.
Dampak di dunia yang diperolehkan dari praktik riba menjadikan pelakunya semakin rakus, hidup tidak tentram dan damai, selalu merasa kurang puas terhadap apa yang dimilikinya lantaran hatinya terkotori oleh hitamnya riba dan di akhirat akan dimintai pertanggung jawaban.