Hakekat Istighatsah dan Tawassul. Para ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul, istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan hakekat yang sama. “Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh al-Qawim, hal. 378).
Sebagian kalangan ulama memiliki persepsi bahwa tawassul adalah memohon kepada seorang nabi atau wali untuk mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya dengan keyakinan bahwa nabi atau wali itulah yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan bahaya secara hakiki. Persepsi yang keliru tentang tawassul ini kemudian membuat mereka menuduh orang yang ber-tawassul kafir dan musyrik. Padahal hakekat tawassul di kalangan para pelakunya adalah memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah subhanahu wa ta’ala dengan menyebut nama seorang nabi atau wali untuk memuliakan keduanya.
Ide dasar dari tawassul ini adalah sebagai berikut. Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan bahwa biasanya urusan-urusan di dunia ini terjadi berdasarkan hukum kausalitas; sebab akibat. Sebagai contoh, Allah subhanahu wa ta’ala sesungguhnya Maha Kuasa untuk memberikan pahala kepada manusia tanpa beramal sekalipun, namun kenyataannya tidak demikian. Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan manusia untuk beramal dan mencari hal-hal yang mendekatkan diri kepada-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu”. (QS. al-Baqarah : 45).
Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman: “Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (Allah)”. (QS. al-Ma’idah : 35).
Ayat ini memerintahkan untuk mencari segala cara yang dapat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Artinya, carilah sebab-sebab tersebut, kerjakanlah sebab-sebab itu, maka Allah subhanahu wa ta’ala akan mewujudkan akibatnya. Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan tawassul dengan para nabi dan wali sebagai salah satu sebab dipenuhinya permohonan hamba. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala Maha Kuasa untuk mewujudkan akibat tanpa sebab-sebab tersebut. Oleh karena itu, kita diperkenankan ber-tawassul dengan para nabi dan wali dengan harapan agar permohonan kita dikabulkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala.
Jadi, tawassul adalah sebab yang dilegitimasi oleh syara’ sebagai sarana dikabulkannya permohonan seorang hamba. Tawassul dengan para nabi dan wali diperbolehkan baik di saat mereka masih hidup atau mereka sudah meninggal. Karena seorang mukmin yang ber-tawassul, tetap berkeyakinan bahwa tidak ada yang menciptakan manfaat dan mendatangkan bahaya secara hakiki kecuali Allah subhanahu wa ta’ala. Para nabi dan para wali tidak lain hanyalah sebab dikabulkannya permohonan hamba karena kemuliaan dan ketinggian derajat mereka.
Ketika seorang nabi atau wali masih hidup, Allah subhanahu wa ta’ala yang mengabulkan permohonan hamba. Demikian pula setelah mereka meninggal, Allah subhanahu wa ta’ala juga yang mengabulkan permohonan seorang hamba yang ber-tawassul dengan mereka, bukan nabi atau wali itu sendiri.
Sebagaimana orang yang sakit pergi ke dokter dan meminum obat agar diberikan kesembuhan oleh Allah subhanahu wa ta’ala, meskipun keyakinannya pencipta kesembuhan adalah Allah subhanahu wa ta’ala, sedangkan obat hanyalah sebab kesembuhan. Jika obat adalah contoh sabab ‘âdi (sebab-sebab alamiah), maka tawassul adalah sabab syar’i (sebab-sebab yang diperkenankan syara’).
Syaikh Majdi Ghassan Ma’ruf al-Husaini, seorang ulama Ahlussunnah Wal-Jama’ah dari Lebanon bercerita, “Suatu ketika seorang Wahhabi dengan beraninya berkata kepada saya, “Mengapa kalian selalu ber-istighatsah dengan mengucapkan “Ya Muhammad”. Ucapkan saja “Ya Allah”, tanpa perantara!” Saya bertanya, “Kalau Anda terserang sakit kepala, apa yang Anda lakukan?” Ia menjawab: “Saya minum dua tablet obat sakit kepada”.
Saya berkata: “Mengapa Anda melakukan itu? Bukankah Allah itu Maha Penyembuh? Mengapa Anda tidak langsung saja berdoa kepada Allah, “Ya Allah, ya Syafi isyfini (Ya Allah, Dzat Yang Maha Penyembuh, sembuhkanlah aku)”. Mengapa Anda membuat perantara dan sebab musabab untuk kesembuhan antara anda dengan Allah? Kalau anda minum dua tablet obat tersebut sebagai perantara kesembuhan Anda, maka kami Ahlussunnah Wal-Jama’ah menjadikan Muhammad shallallahu alaihi wasallam sebagai perantara kami, dan beliaulah perantara yang paling agung.” Akhirnya, Wahhabi tersebut tidak dapat menjawab.
Oleh karenanya, tawassul merupakan hal yang harus kita lakukan. atau bisa dikatakan tawasul sebagai perantara, seperti juga dalan mencari rezeki. Maka juga harus ada perantara (bos/majikan, teman, atau pemberi kerja).