Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa". Akankah peribahasa ini masih sering kita dengar seiring dengan berbagai "pendapatan" dan "kesejahteraan" yang didapat? Mulai dari tunjangan sertifikasi dan kenaikan gaji. Dulu, di pesantren diajarkan "likulli syaiin zakatun, wazakatul ilmi attarbiyah" bahwa zakatnya ilmu adalah mengajar. Ironisnya, sekarang ini banyak guru yang tidak sibuk mengajar akan tetapi terlena dengan berkas-berkas sertifikasi. Walhasil mereka terdegradasi spirit keihlasannya, terjebak oleh sistem standarisasi.
Dari hiruk pikuknya berbagai fasilitas negara untuk para guru, mulai dari BOS, tunjangan fungsional, tunjangan sertifikasi/profesi pendidik (TPP), ternyata masih ada dan masih banyak pendidik yang tidak terlena oleh berbagai macam tunjangan. "Para guru ngaji dan pengajar TPA/TPQ di pelosok nusantara, jangankan mendapat tunjangan dari pemerintah, mendapat gaji bulanan pun juga tak pernah didapat. Mereka mengajar dengan penuh keikhlasan, para murid pun tidak dikenakan biaya sepeserpun. Inilah potensi keikhlasan yang dimiliki Kementerian Agama.
Para guru sekarang, sudah tergerogoti oleh jiwa tidak ikhlas. Sertifikasi yang masih secara nasional tidak menemui kejelasan eksistensinya. Orang akhirnya bingung karena guru yang disertifikasi dan tidak, kualitasnya sama, bahkan tidak ada peningkatan kapasitas keilmuan apalagi profesionalismenya.
Akhirnya, muncullah program baru yang belum tentu bagus juga, yaitu Uji Kompetensi Guru (UKG) yang tujuannya adalah guru yang tidak baik menjadi baik, yang baik semakin baik. Namun program ini belum tentu akan menyelesaikan masalah.
Wajar Dikdas 12 tahun yang akan digodok misalnya, ternyata ukurannya sangat kualitatif dan formal. Anggaran besar untuk pembangunan gedung, meubeler, peningkatan kualifikasi guru adalah tolok ukurnya. "Seharusnya bisa mengukur kepada hal-hal yang non-formal, bahwa proses belajar tidak harus di balik tembok. Yang paling penting adalah pemberian dan pengakuan pada kompetensinya.