Aturan Dalam Bermadzhab dalam kajian fiqih. Taklid adalah mengikuti pendapat seorang mujtahid yang telah menggali hukum darisumber aslinya. Taklid sendiri merupakan kewajiban bagi orang yang tidak mampu mencapai tingkatan Mujtahid Mutlak, walaupun sudah mencapai tingkatan Mujtahid Mazhab dan Mujtahid Fatwa. Sedangkan bagi Mujtahid Mutlak sendiri, haram hukumnya bertaklid pada pendapat mujtahid lain. Ia harus menganalisa dalil sendiri tanpa ada ikatan dengan pemikiran ulama lain.
Dalam masalah taklid, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang muqallid (orang yang bertaklid).
Pertama, harus mengikuti salah satu dari empat mazhab resmi dalam Islam, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau Hanbali. Ibnu Shalah mengatakan, konsensus ulama telah menyatakan, bahwa dilarang bertaklid pada selain mazhab yang empat, hatta untuk dikerjakan pribadi, apalagi untuk difatwakan. Dalam hal ini, bukan berarti mengesampingkan ilmu dan ijtihad ulama dari selain mazhab empat, namun disebabkan kurangnya sikap militansi murid-murid selain mazhab empat untuk menjaga pemikiran gurunya, sehingga dikhawatirkan terjadinya penyimpangan dan perubahan.
Misalnya mazhab Zaidiyah yang diafiliasikan pada Imam Zaid bin Ali bin al-Husain. Dunia Islam bukan tidak mengakui kemampuan dan intelektualitas Imam Zaid sebagai seorang mujtahid, karena selain sebagai pemikir Islam yang memiliki kredibilitas tinggi dalam tingkat keilmuan, beliau tergolong ulama yang saleh. Hanya saja, murid-muridnya mengabaikan usaha gurunya, sehingga tak mampu menjaga hasil karya Imam Zaid. Hal ini tak terjadi pada mazhab yang empat, murid-murid dari empat mazhab ini mampu menjaga ilmu gurunya, dan bahkan mengembangkannya lebih jauh.
Kedua, harus menguasai perangkat hukum dalam masalah yang ia ikuti, berupa syarat dan kewajiban. Semisal dalam wudhu, maka muqallid dituntut untuk mengetahui syarat dan rukun wudhu yang telah dirumuskan oleh mujtahid yang akan ia ikuti. Ketika seseorang akan mengikuti pendapat Imam Malik, misalnya,—di mana mazhab Maliki menghukumi tidak batal bersentuhan kulit lelaki dengan perempuan tanpa ada tujuan dan adanya rasa lezat—maka tidak sah taklidnya sampai mengetahui segala kewajiban yang harus dipenuhi dalam wudhu mazhab Maliki, seperti kewajiban mengusap semua rambut kepala, menggosok anggota wudhu, serta cepat-cepat (muwâlât) dalam melaksanakan rukun-rukun wudhu.
Ketiga, ada niatan mengikuti sebelum mengerjakan. Maka dari itu, umpama ada orang mengerjakan suatu ibadah dan menyalahi kriteria yang berlaku pada umumnya tanpa ada niatan untuk mengikuti pendapat ulama yang memperbolehkannya, maka ibadahnya dihukumi batal dan wajib mengulangi. Boleh bertaklid setelah mengerjakan asal memenuhi dua syarat: (1) ketika mengerjakannya tidak mengetahui bahwa tindakannya itu dapat membatalkan pada amalnya. Bahkan, ia mengerjakan karena lupa terhadap hal yang dapat membatalkan, atau karena tidak mengetahuinya, (2) imam yang akan diikuti memperbolehkan taklid setelah amal. Jadi, umpama ada seorang akan mengikuti pendapat dalam mazhab Hanafi, maka ia harus mengetahui dulu apakah dalam mazhab Hanafi diperbolehkan taklid setelah amal.
Keempat, tidak mengikuti yang ringan-ringan saja. Artinya, dalam bermazhab, seorang muqallid tidak boleh memilih pendapat-pendapat ulama yang ringan dan sesuai selera. Dalam syarat ini, sebenarnya terjadi khilaf antara kalangan Fikih dan Ushul Fikih, namun dalam kitab Jam’ul-Jawâmi’ disebutkan pelarangan mengambil hukum yang ringan-ringan saja. Jadi, tidak boleh ketika seseorang kesulitan air untuk wudhu dan debu untuk tayamum, dan yang ada hanya pasir yang suci, ternyata tidak bertayamum dengan pasir karena bertaklid pada mazhab Syafi’i yang tidak memperbolehkan bertayamum dengan pasir. Di satu sisi, ia tidak shalat lihurmatil-waqti dan tidak mengkadhainya dengan mengikuti pendapat Imam Malik yang memperbolehkan tidak shalat dan tidak wajib mengkadhai ketika tidak menemukan air, debu, dan pasir. Padahal dalam posisi demikian, dalam mazhab Syafi’i diwajibkan shalat lihurmatil-waqti dan wajib mengkadhainya ketika sudah ada benda untuk bersuci, baik air atau debu ketika berada di tempat yang tayamumnya dapat menggugurkan pada shalat.
Kelima, yang diikuti adalah seorang mujtahid, walaupun Mujtahid Fatwa, seperti Imam Rafi’i, Imam Ramli, dan Ibnu Hajar al-Haitami. Artinya, seorang muqallid tidak diperbolehkan mengikuti pendapat yang lemah. Tetapi, seperti yang diungkap Sayid Abdullah bin Umar al-Alawi (1209-1265 H), boleh mengikuti pendapat yang lemah dari dua pendapat yang berbeda, asal sudah ditarjih oleh sebagian ulama yang memiliki kapabilitas dalam tarjih. Bahkan Imam Kurdi mengatakan, mengamalkan pendapat lemah dalam satu mazhab dengan beberapa syarat yang ada, lebih baik daripada berpindah mazhab. Dalam kitab Qawâ’idul-Fiqh (1/576) disebutkan: baik untuk memberikan fatwa pendapat yang lemah ketika dalam keadaan darurat dengan tujuan mempermudah. Walaupun dalam kitab tersebut juga disebutkan larangan mengamalkan dan memberikan fatwa pendapat yang lemah jika tidak keadaan darurat.
Keenam, tidak boleh mengikuti pendapat seorang imam yang telah dicabut oleh imam itu sendiri, seperti yang terjadi pada Imam Syafi’i dengan qaul qadîm-nya. Sebab, pendapat kedua dari mujtahid yang sama berstatus nâsikh (menghapus) pada pendapat pertama, sehingga muqallid tidak boleh mengamalkan salah satu dari dua pendapat yang berbeda dari satu mujtahid kecuali sudah mengetahui mana pendapat yang awal dan yang akhir. Lantas bagaimana dengan sebagian qaul qadîm Imam Syafi’i yang masih dipakai? Sebenarnya, pendapat tersebut sudah tidak murni lagi dari pendapat Imam Syafi’i, melainkan hasil tarjih dari sekumpulan Mujtahid Mazhab yang telah meneliti dan membandingkan antara dua dalil lantas memilih pendapat yang qadîm dari Imam Syafi’i.
Ketujuh, tidak mencampur aduk (talfîq) pendapat dua imam dalam satu amal ibadah (qadhiyyah), sehingga kedua imam tersebut sepakat akan kebatalan ibadah tersebut. Syarat ini menurut pendapat yang muktamad dalam mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Hanbali. Berbeda dengan ketiganya adalah pendapat dalam mazhab Maliki yang memperbolehkan talfîq dalam masalah ibadah saja, tidak pada yang lain.
Maksud tidak mencampur aduk, dalam etika bermazhab, muqallid dituntut mengikuti pendapat imam seutuhnya dalam perangkat hukum yang telah dirumuskan dalam mazhabnya. Ketika mengikuti Imam Syafi’i, misalnya, dalam masalah wudhu, maka ketentuan dalam mazhab Syafi’i - seperti syarat, rukun, dan yang membatalkan wudhu - semuanya harus diikuti.
Contoh talfîq yang tidak diperbolehkan adalah seorang lelaki ketika wudhu mengusap sebagian kepala karena mengikuti mazhab Syafi’i. Lalu ketika bersentuhan kulit dengan perempuan, ia mengikuti pendapat mazhab Hanafi yang menghukumi tidak batal. Kemudian ia shalat. Maka shalatnya dihukumi batal, karena baik mazhab Syafi’i atau mazhab Hanafi semua sepakat akan kebatalan wudhu orang tersebut.
Wallahu A’lamu Bisshowab… !