Bernasab Kepada Siapa Anak Hasil Perz!nahan?. Artikel ini merupakan penjelasan artikel status anak z!na. Dimana dalam artikel tersebut menyatakan bahwa anak hasil perz!nahan bisa bernasab kepada ayah kandungnya dengan syarat pernikahannya dengan ibu kandung sampai anak lahir harus mencapai 6 bulan sempurna dengan kalender hijriyah (30 hari/bulan).
Di antara tujuan perberlakuan syariah adalah menjaga keturuan (Hifdz an-Nasl), sehingga diberlakukan hukum perkawinan dalam Islam. Dengan perkawinan status hubungan nasab antara ayah-ibu dan anak menjadi jelas, dan bahkan menjadi solusi sosial. Sebab, kejelasan status berkaitan erat dengan hubungan keduanya dalam hal perwalian, perawatan, pewarisan dan lain sebagainya.
Selanjutnya, bagaimana tinjauan fikih atas hubungan nasab antara anak hasil z1na dengan orang tuanya? Namun sebelumnya, perlu diketahui terlebih dahulu yang dimaksud anak z!na dalam syariah. Apakah harus ada hubvngan int!m, atau juga yang lain?
Menurut Wahbah az-Zuhaili, yang dimaksud anak z!na adalah anak yang dilahirkan melalui cara diluar ketetapan syara’ atau buah dari hubungan haram. Sementara itu, dihukumi sama dengan z!na adalah pertumbuhan janin dari sperma yang dikeluarkan dengan cara tidak terhormat (Ghair Muhtaram). Dengan demikian, anak z!na adalah anak hasil hubvngan gelap, baik melalui perz!nahan atau proses yang tidak terhormat.
Menurut ‘Ali Sabramallisi, termasuk juga Imam Ramli, terhormat dan tidaknya sperma yang keluar tergantung saat keluarnya. Jika keluarnya tidak terhormat, dalam arti melalui proses yang dilarang oleh syara’ maka sperma yang keluar dihukumi Ghair Muhtaram.
Sperma Ghair Muhtaram adalah seperti dikeluarkan dengan cara masturbasi atau karena dipermainkan oleh tangan selain isterinya. Jika sperma tersebut kemudian dimasukkan ke rahim rahim istrinya maka anak yang lahir tidak dinilai Muhtaram, sama dengan anak z!na. Hanya saja, dalam hal perkawinan kasus ini terjadi pengecualian.
Berbeda jika dikeluarkan dengan cara halal, seperti dipermainkan oleh tangan istrinya, lalu sperma yang keluar dimasukkan ke orang lain, maka sang anak dihukumi Muhtaram dan tetap bernasab pada pemilik sperma. Meskipun, dalam segi hukum perbuatan tersebut searti dengan z!na karena telah memasukkan sperma orang lain tanpa melalui ikatan nikah. Bagi yang memandang bahwa Muhtaram juga dari segi memasukkannya, tentu juga dihukumi Ghair Muhtaram.
Berkaitan dengan hubungan nasab anak z!na termasuk juga sperma Ghair Muhtaram dengan pemilik sperma ini dalam madzhab Syafi’i tidak ada hubungan nasab (Ghair Intisab) dengan ayah biologisnya. Ia hanya berjalur nasab dengan sang ibu dan ketententuan ini, menurut Imam Rafi’i adalah Ijmak. Implikasi dari hukum ini, sang anak baginya seperti orang lain yang tidak terikat dalam hal perwalian, pewarisan dan bahkan boleh dinikahi jika sang anak perempuan. Akan tetapi, hal ini makruh dilakukan karena keluar dari khilaf ulama yang melarangnya.
Namun demikian, dalam kasus sperma Ghair Muhtaram, jika dimasukkan ke rahim istrinya, putrinya, ibunya atau ke saudarinya, anak yang keluar tidak boleh dikawin. Larangan ini, bukan dari unsur nasab setelah pengeluaran sperma yang Ghair Muhtaram, melainkan dari unsur hubungan para perempuan tersebut dengan dirinya yang memiliki kaitan yang sama dengan kasus sesuan dalam bab Radha’.
Contoh kasus, seorang pria terjadi hubungan z!na dengan seorang perempuan, lalu sperma pada perempuan tersebut dikeluarkan dan dimasukkan ke rahim isteri pria tersebut. Dari sudut anak hasil sperma Ghair Muhtaram memang tidak dilarang mengawini anak perempuan yang keluar dari perut sang isteri, tetapi dari sudut bahwa ia adalah isterinya, maka ia tidak halal dikawin karena sama dengan anak sesuan.
Hukum dalam madzhab Maliki sama dengan madzhab Syafi’i. Yang berbeda adalah pandangan madzhab Hanbali dan Hanafi yang menyatakan bahwa perz!nahan dapat menetapkan hubungan Mushaharah (Mertua). Implikasinya, ayah biologis haram mengawini putri hasil perbuatan z!na tersebut. Bahkan, hukum ini menyebar ke beberapa orang terdekatnya. Jika ada seseorang berz!na maka anak hasil z!na berikut ibu perempuan yang diz!nahi tidak boleh dikawin. Jika perz!nahan terjadi dengan ibu mertuanya, maka sang istri haram baginya selamanya.
Dalam hal ini, menurut madzhab Hambali, tidak ada perbedaan apakah perz!nahan tersebut melalui Qubul atau Dubur, sehingga umpama terjadi liwath dengan anak laki-laki maka juga menetapkan keharaman: Pewathi’ haram mengawini ibu laki-laki dan anaknya, demikian pula bagi laki-laki tersebut haram mengawini ibu dan anak pewathi’. Lebih ekstrim lagi, pendapat Hanafiyah yang mengatakan bahwa Musharahah bisa terjadi melalui semi z!na, seperti menc!um dan memegang dengan syahwat.
Meskipun demikian, dalam hukum waris anak z!na tetap tidak mendapat hak waris dari ayah biologisnya. Ia hanya mendapat warisan dari sang ibu, berikut kerabatnya dari jalur ibu. Hukum ini menjadi ijmak madzhab empat. Alasannya, perwarisan adalah nikmat yang diberikan Allah bagi ahli waris, sehingga tidak boleh tejadi melalui hubungan lacur (Jarimah). Demikian pula, jika anak z!na meninggal, warisannya jatuh ke ibu berikut kerabatnya. Hukum ini, tentu sama dengan pandangan Syafi’iyah dan Maliki, sehingga terbilang ijmak.
Dari pemaparan di atas, setidaknya kita tahu bahwa perz!nahan berimplikasi pada persoalan yang sangat besar, baik secara agama maupun sosial. Korban utama dalam perz!nahan adalah anak, walaupun mereka tidak melakukan dosa, tetapi terkena imbasnya. Solusi tepatnya adalah melalui pernikahan yang sah sehingga semua persoalan di atas menjadi selesai.
Semoga Artikel Bernasab Kepada Siapa Anak Hasil Perz!nahan? ini bermanfaat.